HomeSejarah

Latar Belakang

“Pergilah ke seluruh dunia dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku”.

Kekuatan Sabda Kristus ini telah mendorong para misionaris Fransiskan asal Belanda untuk menabur benih Sabda Yesus di bumi Cenderawasih ini. Sabda Yesus dan iman para Rasul telah hidup dan berkembang serta nyanyian keselamatan telah terdengar di pesisir pantai, di lembah-lembah dan di gunung-gunung di Tanah Papua. Kekuatan Firman dan iman telah melahirkan kelompok-kelompok umat yang makin berkembang dan membentuk paroki-paroki yang telah melahirkan Keuskupan Jayapura di tanah Papua yang besar ini.

Para misionaris dengan penuh suku cita bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, dari pesisir dan lembah mendaki bukit dan gunung untuk memperdengarkan Kabar Gembira dan mensharingkan iman para Rasul bagi setiap orang: tua-muda, remaja-kanak-kanak, dan ingin mendidik  mereka menjadi misionaris lokal untuk meneruskan pewartaan iman dan Kabar Gembira bagi umat ciptaan Allah.

Para misionaris yang telah bertahun-tahun bekerja untuk pelayanan dan pewartaan Injil di tanah Papua, secara khusus di Keuskupan Jayapura. Pewartaan Injil dan pelayanan karya keselamatan tidak pernah akan berhenti, maka para misionaris juga telah memikirkan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan tingkat menengah untuk mendidik calon-calon imam.

Pendidikan calon imam di tanah Papua diawali oleh kesadaran bahwa sebagian besar wilayah di tanah Papua dibuka dan hanya dilayani oleh para misionaris Fransiskan dari Belanda, maka pendidikan seminari didirikan untuk mendidik putra daerah yang dipersiapkan untuk menjadi tenaga imam. Atas dasar kesadaran itu, Mgr. Oskar Cremers, OFM, selaku Apostolis Prefek Holandia membuat laporan Quingennalia (1950) dan menyampaikannya kepada Pontificium Opus AS Petro Apostolo Roma (1951), bahwa sudah mendirikan Probatotium ad Seminarium di Fak-Fak. Pendirian Seminarium Fak-Fak ini memperoleh respon berupa (i) pemberian subsidi (1952) dan (ii) pencantuman nama Seminarium Fak-Fak di antara seminari menengah di dunia. Namun Seminarium Fak-Fak ini tidak bertahan lama, mengingat beberapa seminaris meng-ikuti pendidikan di Belanda, sedangkan calon seminaris baru yang masuk sedikit.

Sementara itu di Merauke juga sempat didirikan seminari kecil (1958), namun keberadaan seminari kecil ini juga tidak bertahan lama. Beberapa penyebabnya adalah calon seminaris yang masuk sedikit, motivasi seminaris kurang jelas, dan tenaga pengajar (guru) kurang memadai baik kuantitas maupun kualitas.

Mgr. Manfred Staverman, OFM selaku Uskup Keuskupan Jayapura menyampaikan surat kepada The President on The Pontifical works for mission di Roma (26 Februari 1962), menyatakan bahwa “in September a special Minor Seminary will be have to begunPontificium Opus AS Petro Apostolo menerbitkan surat resmi yang menyatakan bahwa  pro Seminario di Holandia akan disediakan subsidi. 

Seluruh wilayah Keuskupan Jayapura pada awalnya juga dibuka dan dilayani oleh para misionaris Fransiskan asal Belanda. Oleh karena itu Santo Fransiskus Asisi banyak dipilih menjadi pelindung seperti: Keuskupan Jayapura, YPPK, beberapa Paroki dan Kelompok Umat Ba-sis atau Kring. Mgr. Herman F.M. Muninghoff selaku Uskup Keuskupan Jayapura menetapkan Santo Fransiskus Asisi menjadi pelindung Semi-nario in Holandia (sekarang Seminari Menengah Waena Jayapura). Namun perkembangan keberadaan Seminari Menengah Santo Fransis-kus Asisi seolah-olah timbul tenggelam.    

Keuskupan Jayapura memiliki SGA-SPG Katolik di Biak yang didirikan tahun 1967. Berdasarkan pertimbangan akan pengelolaan yang efisien dan efektif, SGA-SPG Katolik Biak ditutup dan dipindahkan ke Jayapura. Untuk maksud tersebut pada tahun 1970 dibangun komplek SGA-SPG di Waena Jayapura, termasuk pembangunan kompleks asra-ma guna menampung siswa-siswi SGA-SPG terutama yang berasal dari daerah pedalaman. Pembukaan secara resmi SGA-SPG Katolik Taruna Bakti (TB) di Waena Jayapura dilakukan pada tahun 1971.

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, pemerintah meng-ambil kebijakaan untuk menutup SGA-SPG di seluruh Indonesia (1986) dan menggantikanya dengan menyelenggarakan Program Diploma 2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) pada berbagai perguruan tinggi negeri/swasta .Berdasarkan kebijakan pemerintah tersebut SGA/SPG Taruna Bakti Waena ditutup dan dialihfungsikan menjadi SMA Katolik Taruna Bakti Waena (1989).

Sedangkan komplek Asrama TB juga dialihfungsikan menjadi Lembaga “Pendidikan Kader Menengah” (thn. 1994) pada umumnya, dalam hal ini termasuk kader khusus untuk Gereja dengan memberlakukan sistem dan proses pendidikan seminari. Namun ternyata keberadaan lembaga ini dinilai kurang mampu mengemban dan melaksanakan misi yang ditetapkan.

Tahun 2001 mulai terjadilah suatu proses yang tidak direncanakan oleh pihak keuskupan tetapi dirancang oleh rektor asrama Taruna Bakti. (P. Vincent Darmin Mbula, OFM), di mana komplek Asrama Taruna Bakti difungsikan lebih khusus untuk “kaderisasi” Pelayan Umat.  Secara kelembagaan komplek Asrama Taruna Bakti berubah menjadi Seminari Menengah Santo Fransiskus Asisi Keuskupan Jayapura. Seminari Menengah Waena ini (sebutan Seminari Menengah Santo Fransiskus Asisi Keuskupan Jayapura) mulai dikenal oleh Komisi Seminari Menengah KWI (2001), Dan di bawah pimpinan  Rektor P. Johanes Kore, OFM. Penerimaan seminaris baru Kelas Persiapan Pertama (KPP) dan Kelas Persiapan Atas (KPA)  angkatan pertama mulai tahun ajaran 2003/2004.